I. Pendahuluan

Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) bukan merupakan tanaman asli Indonesia tetapi didatangkan Belanda dari Mauritius dan Reunion, Afrika, yang kemudian ditanam pertama sekali sebagai tanaman percobaan di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Setelah menjalani beberapa kali percobaan penanaman, akhirnya pada tahun 1911, kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial di Indonesia dalam bentuk perkebunan di Tanah Itam  Ulu oleh maskapai Oliepalmen Cultuur di Tanah Itam Ulu dan di Pulau Raja oleh maskapai Huilleries de Sumatra – RCMA.

Setelah mengalami berbagai model konsolidasi, reorganisasi dan restrukturisasi, sampai tahun 1998 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 2.779.882 ha dengan tingkat produksi Tandan Buah Segar (TBS) sebanyak 22.998.869 ton, Crude Palm Oil (CPO)sebanyak 5.519.729 ton dan Palm Kernel Oil (PKO) sebanyak 1.237.268 ton. 

Seluruh areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola dalam bentuk Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar dan Perkebunan Inti Rakyat. Perkebunan Besar  terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PTPN) dan Perkebunan Besar Swasta. Selanjutnya Perkebunan Besar Swasta dibagi lagi menjadi Perkebunan Besar Swasta Nasional dan Perkebunan Besar Swasta Asing. Pola Perkebunan Inti Rakyat diterapkan agar Perusahaan Besar yang bertindak sebagai inti dapat membantu meningkatkan kinerja Perkebunan Rakyat melalui kerjasama yang saling menguntungkan sehingga dalam era  globalisasi Perkebunan Rakyat mampu bertahan menghadapi persaingan yang sangat tinggi.

Perkebunan kelapa sawit merupakan bidang usaha yang sangat menarik bagi investor domestik maupun asing. Hal ini dapat terlihat dari pesatnya pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Daya tarik perkebunan kelapa sawit terletak pada besarnya manfaat ekonomi (mikro dan makro), politik dan sosial yang diperoleh dari usaha ini. Manfaat ini telah menempatkan komoditi kelapa sawit sebagai salah satu unggulan dalam perekonomian nasional.

Secara nyata, rakyat indonesia telah merasakan manfaat ekonomi, politik dan sosial dari perkebunan kelapa sawit, tetapi masih banyak kalangan yang jurang akurat menterjemahkan manfaat-manfaat tersebut  terutama dalam kaitan dengan prospek bisnis dan investasi. Hal ini mengakibatkan beberapa industri terkait ke k hilir (forward-linkage industry) maupun industri terkait ke hulu (backward-linkage industry) dengan perkebunan kelapa sawit tidak mampu merespon atau menindaklanjuti dengan cepat dan tepat perkembangan yang pesat dalam perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya ketidakmampuan ini mengakibatkan pemerintah dan pelaku ekonomi lainnya tidak mampu memaksimalkan jumlah nilai tambah yang tertahan di dalam negeri atau sebagian harus mengalir ke luar negeri.